Senin, 26 Oktober 2009

MAKALAH KONTUSI,SPRAIN,STRAIN

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Sistem Muskuloskeletal

Disusun oleh Kel 3 :

1.Adnan anung p (07.0144.S)

2.Aisyah dzil kamalah ( 07.0146.S )

3.Diaz ganes ( 07.0162.S )

4.Diah wulansari ( 07.0167.S )

5. Isna octaviani ( 07.0180.S )

6.Laila febri alfarini ( 07.0185.S )

7.Nur farida ( 07.0203.S )

8.Nurul heri ( 07.0206.S )

9.Sri rahayuningsih ( 07.0213.S )

10. Wahatin ( 07.0221.S )

11. Irzadtul ibat ( 06.0086.S )

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

PEKAJANGAN - PEKALONGAN

2008-2009

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat /mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat transportasi /kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan. Sehingga menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.

Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.

Berdasarkan data dari rekam medik RS Fatmawati di ruang Orthopedi periode Januari 2005 s/d Juli 2005 berjumlah 323 yang mengalami gangguan muskuloskletel, termasuk yang mengalami fraktur Tibia Fibula berjumlah 31 orang (5,59%).

Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan mengimobilisasi bagian fraktur adalah salah satu metode mobilisasi fraktur adalah fiksasi Interna melalui operasi Orif (Smeltzer, 2001 : 2361). Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya oleh akibat tiga fraktur utama yaitu penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi (Rasjad, 1998 : 363).

Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan keperawatan langsung kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai pendidik memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi, serta sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti asuhan keperawatan kepada klien fraktur melalui metode ilmiah.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana asuhan keperawatan fraktur tertutup Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra diruang I Orthopedi Fatmawati.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian

1. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.( Brunner & Suddarth, 2000 )

2. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang.

3. Fraktur adalah putusnya kesinambungan tulang

B. Klasifikasi fraktur :

Menurut Hardiyani (1998), fraktur dapat diklasifikasikan sebagai berikut

1. Berdasarkan tempat :

a. Fraktur humerus

b. tibia

c. clavicula

d.cruris dst

2. Berdasarkan luas dan garis fraktur terdiri dari :

a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang).

b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang).

3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :

a. Fraktur kominit (garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan).

b. Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan).

c. Fraktur Multipel ( garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya).

4. Berdasarkan posisi fragmen :

a. Undisplaced (tidak bergeser)/garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak bergeser.

b. Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur

5. Berdasarkan hubungan fraktur dengan dunia luar :

a. Tertutup

b. Terbuka (adanya perlukaan dikulit).

6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma

a. Greenstick

fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya bengkok.

b. Oblik / miring.

fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang

c. Spiral / melingkari tulang.

fraktur memuntir seputar batang tulang.

d. Kompresi

fraktur dimana tulang mengalami kompresi

e. Avulsi / trauma tarikan atau insersi otot pada insersinya. Missal pada patela.

tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada perlekatannya.

f. Greenstick

Fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya membengkok

g. Transversal

Fraktur sepanjang garis tengah tulang

h. Patologik

Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit ( kista tulang, penyakit paget, metastasis tulang, tumor )

i. Epifiseal

Fraktur melalui epifisis

j. Impaksi

Fraktur dimana fragmen tulang terdorong kefragmen tulang lainnya.

7. Berdasarkan kedudukan tulangnya :

a. Tidak adanya dislokasi.

b. Adanya dislokasi

8. Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :

a. Tipe Ekstensi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.

b. Tipe Fleksi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi. (Mansjoer, Arif, et al, 2000)

C. Etiologi

1. Cedera dan benturan seperti pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, kontraksi otot ekstrim.

2. Letih karena otot tidak dapat mengabsorbsi energi seperti berjalan kaki terlalu jauh.

3. Kelemahan tulang akibat penyakit kanker atau osteoporosis pada fraktur patologis.

Menurut Oswari E, (1993) ; Penyebab Fraktur adalah :

1. Kekerasan langsung; Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.

2. Kekerasan tidak langsung: Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

3. Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

D. Manifestasi klinis

1. Nyeri

Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma. Hal ini dikarenakan adanya spasme otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.

2. Bengkak / oedema

Oedema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa yang terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.

3. Memar / eximosis

Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan sekitarnya.

4. Spame otot

Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi di sekitar fraktur

5. Penurunan sensasi

Terjadi karena kerusakan syaraf, terkenanya syarat karena edema

6. Gangguan fungsi

Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot

7. Mobilitas abnormal

Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya tidak terjadi pergerakan. Ini terjadi pada fraktur tulang panjang

8. Krepitasi

Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagian yang tulang digerakkan. Hal ini terjadi pada praktur tulang panjang

9. Defirmitas

Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil kecelakaan atau trauma dan pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

10. Shock hipovaolemik

Shock terjadi sebagai kompensasi jika terjadi perdarahan hebat

11. Gambar x-roy menentukan fraktur

Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur

E. Patofisiologi

Fraktur / patah tulang terjadi karena benturan tubuh, jatuh / trauma (long, 1996 : 356). Baik itu karena trauma langsung, misalnya : tulang kaki terbentur bumper mobil, karena trauma tidak langsung , misalnya : seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa oleh karena trauma akibat tarikan otot misalnya tulang patella dan dekranon, karena otot triseps dan biseps mendadak berkontraksi. (Oswari, 2000 : 147).
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup. Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit. (Mansjoer, 2000 : 346).
Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. (Corwin, 2000 : 299).
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembekakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan syndrom kompartemen. (Brunner & Suddarth, 2002 : 2287).
Pengobatan dari fraktur tertutup bisa konservatif atau operatif. Theraphy konservatif meliputi proteksi saja dengan mitella atau bidai. Imobilisasi dengan pemasangan gips dan dengan traksi. Sedangkan operatif terdiri dari reposisi terbuka, fiksasi internal dan reposisi tertutup dengan kontrol radio logis diikuti fraksasi internal. (Mansjoer, 2000 : 348).
Pada pemasangan bidai / gips / traksi maka dilakukan imobilisasi pada bagian yang patah, imobilisasi dapat menyebabkan berkurangnya kekuatan otot dan densitas tulang agak cepat (Price & Willsen, 1995 : 1192).
Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita komplikasi dari imobilisasi antara lain : adanya rasa tidak enak, iritasi kulit dan luka yang disebabkan oleh penekanan, hilangnya otot (Long, 1996 : 378).
Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh diimobilisasi, mengakibatkan berkurangnya kemampuan perawatan diri (Carpenito, 1999 : 346).
Pada reduksi terbuka dan fiksasi interna (OKIF) fragme-fragmen tulang dipertahankan dengan pen, sekrup, pelat, paku. Namun pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadi infeksi. Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price & Willson, 1995 : 1192).
Pembedahan yang dilakukan pada tulang, otot dan sendi dapat mengakibatkan nyeri yang hebat (Brunner & Suddarth, 2002 : 2304).

F. Pathway

G. Pemeriksaan Diagnostik

1. Pemeriksaan rontgen

menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma.

2. Scan Tulang, tomogram, CT scan / MRI

Memperlihatkan fraktur, juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

3. Hitung darah lengkap

Hematokrit mungkin meningkat, ( hemokosentrasi ) atau menurun ( perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple ). Peningkatan jumlah sel darah putih adalah respon stress normal setelah trauma.

4. Kreatinin

Trauma otot meningkatkan beban beban kreatinin untuk klirens ginjal.

5. Profil koagulasi

Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cidera hati.

6. Arteriogram

dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.

H. Penatalaksanaan

1. Reposisi dengan maksud mengembalikan fragmen–fragmen ke posisi anatomi.

2. Imobilisasi atau fiksasi dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen–fragmen tulang tersebut setelah direposisi sampai terjadi union.

3. Penyambungan fraktur (union)

4. Mengembalikan fungsi (rehabilitasi)

a. Rekognisi

Dilakukan dalam hal diagnosis dan penilaian framur prinsipnya adalah mengetahui riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri, menentukan apakah ada kemungkinan fraktur dan apakah perlu dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mencari adanya fraktur.

b. Reduksi

Adalah usaha atau tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak asalnya. Tindakan ini dapat dilaksanakan secara efektif di dalam ruang gawat darurat atau ruang bidai gips. Untuk mengurangi nyeri selama tindakan, penderita dapat diberi narkotik IV, sedatif atau blok saraf lokal.

reduksi tertutup, traksi atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur.metode tertentu yang dipilih berdasarkan sifat fraktur, Namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mengalami penyembuhan.

a.1. reduksi tertutup

pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya. ( ujung - ujungnya saling berhubungan ) dengan manipulasi dan traksi amnual. Ekstrimitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang oleh dokter.

a.2. Traksi

dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

a.3. Reduksi terbuka

dengan pendekatan bedah fragmen tulang direduksi. alat fiksasi interna dalam bentukpin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat dipasang disisi tulang atau dipasang melalui fragmen tulang atau langsung kerongga sumsum tulang.

c. Retensi

Setelah fraktur direduksi fragmen tulang harus dimobilisasi atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi gips, bidai, traksi implant logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimmobilisasi fraktur. Fiksasi interna jenis plate dan screw dapat bertahan/tidak menimbulkan gejala selama ± 2 tahun.

d. Rehabilitasi

Merupakan proses pengembalian ke fungsi dan struktur semula dengan cara melakukan ROM aktif an pasif seoptimal mungkin sesuai dengan kemampuan klien. Latihan isometrik dan setting otot, diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuese dan meningkatkan peredaran darah.

(Price, 1995 1187-1188)

Faktor - faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur :

a. Faktor yg mempercepat penyembuhan

· Immobilisasi fragmen tulang

· Kontak fragmen tulang maksimal

· Asupan darah yg memadai

· Nutrisi yg baik

· Latihan pembebanan BB untuk tulang panjang

· Hormon2 pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D dan steroid anabolik

· Potensial listrik pd patahan tulang

b. Faktor yang menghambat penyembuhan

· Trauma lokal ekstensif

· Kehilangan tulang

· Immobilisasi tak memadai

· Rongga atau jaringan diantara fragmen tulang

· Infeksi

· Keganasan lokal

· Penyakit tulang metabolik

· Radiasi tulang

· Nekrosis avaskuler

· Fraktuir intraartikuler

· Usia

· kortikosteroid

Perawatan fraktur tertutup

· Diusahakan kembali ke aktivitas biasa sesegera mungkin

· Penyembuhan dan pengembalian kekuatan penuh memerlukan waktu berbulan2

· Ajarkan klien mengontrol nyeri dan pembengkakan

· Motivasi klien unttuk mobilisasi sesuai batas dan tirah baring diusahan seminimal mungkin

· Ajarkan penggunaan alat bantu

· Bantu dan ajarkan klien memenuhi kebutuhan dasarnya

I. Komplikasi fraktur

1. Malunion, adalah suatu keadaan dimana tulang yang patah telah sembuh dalam posisi yang tidak pada seharusnya, membentuk sudut atau miring

2. Delayed union adalah proses penyembuhan yang berjalan terus tetapi dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.

3. Nonunion, patah tulang yang tidak menyambung kembali.

4. Compartment syndroma adalah suatu keadaan peningkatan takanan yang berlebihan di dalam satu ruangan yang disebabkan perdarahan masif pada suatu tempat.

5. Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.

6. Fat embalism syndroma, tetesan lemak masuk ke dalam pembuluh darah. Faktor resiko terjadinya emboli lemak ada fraktur meningkat pada laki-laki usia 20-40 tahun, usia 70 sam pai 80 fraktur tahun.

7. Tromboembolic complicastion, trombo vena dalam sering terjadi pada individu yang imobiil dalam waktu yang lama karena trauma atau ketidak mampuan lazimnya komplikasi pada perbedaan ekstremitas bawah atau trauma komplikasi paling fatal bila terjadi pada bedah ortopedil

8. Infeksi, Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.

9. Avascular necrosis, pada umumnya berkaitan dengan aseptika atau necrosis iskemia.

10. Refleks symphathethic dysthropy, hal ini disebabkan oleh hiperaktif sistem saraf simpatik abnormal syndroma ini belum banyak dimengerti. Mungkin karena nyeri, perubahan tropik dan vasomotor instability.

BAB III

PEMBAHASAN

A. Kasus

Saudara frans ( 18 th ) mengalami kecelakaan sepeda motor ketika berangkat kesekolah. Klien mengeluh nyeri pada kaki kanan, apalagi jika disentuh atau digerakkan . foto rontgen menunjukkan adanya patah tulang tibia dekstra sepertiga distal. Oleh dokter ortopedi klien dilakukan pemasangan gips.

B.Etiologi

Fraktur yang terjadi pada sdr Frans terjadi karena adanya trauma langsung. Fraktur yang terjadi pada sdr Frans merupakan fraktur tibia tertutup, oleh karena itu klien memperoleh terapi yakni dengan pemasangan gips.

C.Manifestasi klinis

Manifestasi klinis yang terjadi pada sdr Frans yakni :

a. Nyeri jika disentuh dan digerakkan.

b. Foto rontgen menunjukkan adanya fraktur tibia dekstra sepertiga distal.

D.Patofisiologi

Pada kasus ini, terjadi trauma langsung yang mengakibatkan patah tulang / fraktur pada os tibia dextra sepertiga distal.Jenis fraktur ini adalah fraktur tertutup. Hal ini mengakibatkan diskontinuitas tulang serta pergeseran fragmen tulang yang mengakibatkan pasien merasakan nyeri. Diskontinuitas tulang menyebabkan perubahan jaringan sekitar kemudian terjadi pergeseran fragmen tulang, lalu terjadi deformitas, lalu mengakibatkan gangguan fungsi mobilitas fisik. perubahan jaringan sekitar mengakibatkan laserasi kulit yang menimbulkan masalah keperawatn gannguan integritas kulit. Laserasi lukit bisa mengakibatkan arteri maupun vena di sekitarnya putus maupun robek, sehingga terjadi perdarahan . Karena darah keluar dari pembuluh darah, maka terjadi kehilangan cairan. Jika ini terjadi secara berkepanjangan dan tidak terjadi penutupan luka dengan mekanisme pembekuan darah, maka bisa mengakibatkan syok hipovolemik. Selain laserasi, perubahan jaringan sekitar juga mengakibatkan terjadinya spasme otot. Spasme otot berakibat pada terjadinya peningkatan tekanan kapiler. Hal ini menstimulasi pelepasan histamin,setelah itu protein plasma akan mulai hilang sehingga terjadi edema yang menekan pembuluh darah, dan terjadi penurunan perfusi jaringan. hal ini menghasilkan masalah keperawatan gangguan perfusi jaringan.

Diskontinuitas tulang bisa menyebabkan pergeseran fragmen tulang, sehingga tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. ini menstimulasi reaksi stress klien. karena klien stress, maka akan menstimulasi keluarnya katekolamin yang akan memobilisasi lemak yang nantinya lemaka akan megabung dengan trombosit. JIka ini terjadi, maka bisa menimbulkan emboli pada pembuluh darah se hingga

menyumbat aliran darah. Masalah keperawatan yang muncul dari hal ini adalah gannguan perfusi jaringan.

E. ASUHAN KEPERWATAN

1. Pengkajian

1) Data Biografi

2) Riwayat kesehatan masa lalu

3) Riwayat kesehatan keluarga

2. Pemeriksaan Fisik

1) Aktivitas / istirahat

Keterbatasan / kehilangan fungsi yang efektif (perkembangan sekunder dari jaringan yang bengkak / nyeri)

2) Sirkulasi

a) Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri / ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)

b) Takikardia (respon stress , hipovolemi)

c) Penurunan nadi pada distal yang cidera , pengisian kapiler lambat

d) Pembengkakan jaringan atau hematoma pada sisi yang cidera

3) Neurosensori

a) Hilang gerakan / sensasi, spasme otot

b) Kebas / kesemutan (parestesia)

c) Nyeri / kenyamanan

d) Nyeri mungkin sangat berat, edema, hematoma dan spasme otot merupakan penyebab nyeri di rasakan

4) Keamanan

a) Laserasi kulit, avulsi jaringan, pendarahan, perubahan warna

b) Pembengkakan lokal

5) Pengetahuan

Kurangnya pemajanan informasi tentang penyakit, prognosis dan pengobatan serta perawatannya .

F. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan yang digunakan adalah foto rontgen

G. Terapi

1. Obat

Obat – obatan yang sering digunakan pada pasien fraktur yakni berupa antibiotika baik itu gram positif maupun gram negative.

Obat - obatan pereda rasa nyeri atau analgesik opioid.

2. Diit :

klien memperoleh diit TKTP ( tinggi kalori tinggi protein )

dengan tujuan memenuhi kebutuhan energi dan protein yang meningkat untuk mencegah dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh dengan indikasi pemberian sebelum dan setelah operasi tertentu, multi trauma, serta selama radioterapi atau kemoterapi.

Selain itu, klien juga mendapatkan diit tinggi kalsium, untuk memenuhi kebutuhan kalsium untuk proses penyembuhan tulang, serta pembentukan sel – sel tulang yang baru untuk mengganti tulang yang rusak.

3. Penatalaksanaan :

Pada pasien dilakukan pemasangan gibs.Dimana gips adalah suatu bubuk campuran yang digunakan untuk membungkus secara keras area yang mengalami patah tulang. Pemasangan gips dikerjakan 2-3 orang, seorang memasang perban (operator), seorang membantu dan memegang perban pada operator dan orang ke tiga menyangga ektremitas agar posisi tetap. Waktu pemasangan gips sesuai dengan variasi daya rekat bahannya yang pada umumnya 2-6 menit. Harus dijaga agar ektremitas tidak bergerak selama pemasangan.

Indikasi dilakukan pemasangan gips adalah :

· Immobilisasi dan penyangga fraktur

· Istirahatkan dan stabilisasi

· Koreksi deformitas

· Mengurangi aktifitas

· Membuat cetakan tubuh orthotik Sedangkan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :

· Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan

· Gips patah tidak bisa digunakan

· Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien

· Jangan merusak / menekan gips

· Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips / menggaruk

· Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama

Prosedur ini bertujuan untuk menyatukan kedua bagian tulang yang patah agar tak bergerak sehingga dapat menyatu dan fungsinya pulih kembali dengan cara mengimobilisasi tulang yang patah tersebut.

Diagnosa keperawatan

1. Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan fungsi tulang.

2.Nyeri akut, berhubungan dengan gerakan fragmen tulang, edema, dan cedera pada jaringan lunak.

3. Kerusakan mobilitas fisik, berhubungan dengan terapi restriktif.

4. Kerusakan integritas kulit, berhubungan dengan cedera fisik, fraktur terbuka, perubahan sirkulasi dan imobilisasi fisik.

5.Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas, berhubungan dengan perubahan aliran darah atau emboli lemak.

Intervensi Keperwatan

1. Dx.1 : Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan fungsi tulang.

Kriteria Hasil :

- Pasien dapat mempertahankan posisi fraktur

- Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur

Intervensi :

· Pertahankan tirah baring, berikan sokongan sendi di atas dan di bawah fraktur bila bergerak

Rasional : meningkatkan stabilitas, menurunkan gangguan posisi penyembuhan

· Sokong fraktur dengan bantal atau gulungan selimut, pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit.

Rasional : mencegah perubahan posisi.

· Evaluasi pembebad extremitas terhadap resolusi edema.

Rasional : Pembebad digunakan untuk memberikan imobilisasi fraktur dimana pembengkakan jaringan berlebihan.

· Kaji ulang foto rontgen / evaluasi

Rasional : Memberiakan bukti visual pembentukan kalus / proses penyembuhan tulang.

2.Dx. 2 : Resiko tinggi terhadap trauma berhubungan dengan kehilangan fungsi tulang.

Kriteria Hasil : Pasien menyatakan nyeri hilang/ berkurang, menunjukkan partisipasi dalam aktivitas / tidur / istirahat dengan tepat.

Intervensi :

· Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips.

Rasional Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi.

· Lakukan kompres dingin selama 24 - 48 jam pertama dan sesuai keperluan.

Rasional : Menurunkan edema / pembentukan hematome, menurunkan sensasi nyeri.

· Berikan obat seuai indikasi : narkotik dan analgesik non narkotik.

Rasional : diberikan untuk menurunkan nyeri dan spasme otot.

· Evaluasi keluhan nyeri / ketidak nyamanan, perhatikan lokasi, karakteristik dan intensitas nyeri, perhatikan petunjuk non verbal.

Rasional : mempengaruhi pilihan keefektifan intervensi.

3.Dx.3 : Kerusakan mobilitas fisik, berhubungan dengan terapi restriktif.

Kriteria Hasil : PAsien dapat meningkatkan / mempertahankan mobilitas pada tingkat yang paling tinggi, mempertahankan posisi fungsional.

Intervensi :

· Kaji derajat imobilisasi yang dihasilkan oleh cidera / pengobatan

Rasional : Pasien mungkin dibatassi oleh persepsi diri tentang keterbatasan fisik.

· Dorong pasien untuk melakukan perawatan diri / kebersiahan ( misalnya mandi, bercukur )

Rasional : meningkatkan kekuatan otot sirkulasi, dan meningkatakan kesehatan diri secara langsung

· Dorong peningkatan masukan cairan sampai 2000 - 3000 ml / hari.

Rasional : Mempretahankan hidrasi tubuh, menurunkan risiko infeksi urinarius, pembentukan batu dan konstipasi.

· Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin, dan mineral.

Rasional : pada adanya cidera muskuloskeletal, nutrisi yang diperlukan untuk penyembuhan berkurang dengan cepat.

4. Dx.4 : Kerusakan integritas kulit, berhubungan dengan cedera fisik, fraktur terbuka, perubahan sirkulasi dan imobilisasi fisik.

Kriteria Hasil : Pasien dapat mencapai penyembuhan luka sesuai waktu penyambuhan.

Intervensi :

· Kaji kulit untuk luka terbuka, kemerahan,benda asing dan perubahab warna.

Rasional : Memberi informasi tentang informasi kulit dan masalah yang mungkin ditimbulkan oleh gips / bebat.

· Massase kulit dan penonjolan tulang

Rasional : menurunkan tekanan pada area yang peka dan resiko kerusakan kulit

· Balik pasien dengan sering untuk melibatkan sisi yang tak sakit dan posisi tengkurap dengan kaki pasien di atas kasur.

Rasional : meminimalkan tekanan pada kaki dan sekitar tepi gips.

· Gunakan tempat tidur busa sesuai indikasi.

Rasional : Karena imobilisasi bagian tubuh tonjolan tulang lebih dari area yang sakit oleh gips mungkin sakit karena penuruna sirkulasi

5. Dx.5 :Resiko tinggi terhadap kerusakan pertukaran gas, berhubungan dengan perubahan aliran darah atau emboli lemak.

Kriteria Hasil : Pasien dapat mempertahankan fungsi pernafasan adekuat.

Intervensi :

· Atasi jaringan cedera / tulang dengan lembut, khususnya selama beberapa hari pertama.

Rasional : Mencegah terjadinya emboli lemak

· Perhatikan peningkatan kegelisahan.

Rasional : Gangguan pertukaran gas menyebabkan penyimpangan pada tingkat kesadaran pasien.

· Awasi pemeriksaan laboratorium : seri GDA

Rasional : penurunan Pa O2 dan peningkatan Pa Co2 menunjukkan gangguan pertukaran gas

· Berikan obat sesuai indikasi : Heparin dosis rendah

Rasional : BLok sirkuler pembekuan dan mencegah bertambahnya pembekuan pada adanya tromboflebitis.